bolehkah jual beli dari internet dalam islam

bolehkah jual beli dari internet dalam islam

https://www.abiabiz.com – Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian orang agak sedikit rancu dengan menjajakan membeli salam dan menjajakan membeli barang yang belum dimiliki. Ada yang masih bingung supaya ia anggap bahwa menjajakan membeli salam semacam di internet yang hanya dengan memajang katalog barang yang mampu dijual, itu tidak dibolehkan gara-gara diakui juga larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjajakan barang yang tidak dimiliki dikala akad. Inilah bahasan yang meminta kita angkat terhadap kesempatan kali ini. Semoga pembahasan singkat ini mampu menjawab kerancuan yang ada.

Pengertian Transaksi Salam

Jual membeli salam (biasa pula disebut “salaf”) adalah menjajakan membeli dengan uang di muka secara kontan namun barang dijamin diserahkan tertunda.Istilahnya adalah kastemer itu pesan dengan menyerahkan uang terutama dahulu, namun penjual mencarikan barangnya meskipun saat itu barang berikut belum ada di tangan penjual.

Jual membeli salam dibolehkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).

Bolehnya Transaksi Salam

Ayat yang mengatakan bolehnya perihal ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk saat yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى)
“Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin sampai saat yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas mengatakan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk saat yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) (HR. Al Baihaqi 6/18, Al Hakim 2/286 dan Asy Syafi’i didalam musnadnya no. 597. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih cocok syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya)

Ibnu’ Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- juga mengatakan,
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
“Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan menjajakan membeli buah-buahan dengan sistem salaf (salam), yakni membayar di muka dan di menerima barangnya sehabis kurun saat dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mempraktekkan salam didalam menjajakan membeli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan persentase yang diketahui dan timbangan yang diketahui, dan juga sampai saat yang diketahui.”
(HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604)

Adapun dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau rahimahullah mengatakan,
أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز.
“Setiap ulama yang kita tahu perkataannya telah bersepakat (berijma’) perihal bolehnya menjajakan membeli salam.”1

Sayyid Sabiq rahimahullah menjelaskan, “Jual membeli salam dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual membeli semacam ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk laksanakan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan tertunda seperti yang ditemukan didalam akad salam, dengan syarat tanpa ada perselisihan pada penjual dan pembeli.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk saat yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
(QS. Al Baqarah: 282).

Utang juga pembayaran tertunda berasal dari harta yang dijaminkan. Maka sepanjang barang yang dijual disebutkan ciri-cirinya yang tahu dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula kastemer telah percaya supaya ia pun sudi menyerahkan uang seutuhnya kepada penjual, namun barangnya tertunda, maka dikala itu barang berikut boleh diserahkan tertunda. Inilah yang dimaksud didalam surat Al Baqarah ayat 282 sebagaimana diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”2

Apakah Akad Salam Sama Dengan Jual Beli Barang yang Bukan Milikmu?

Mengenai larangan menjajakan barang yang tidak dimiliki telah disebutkan didalam hadits Hakim bin Hizam. Ia berkata terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ « لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ».
“Wahai Rasulullah, seseorang mendatangiku sehabis itu ia meminta dariku menjajakan barang yang bukan milikku. Apakah saya perlu membelikan untuknya berasal dari pasar?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menjajakan barang yang bukan milikmu.”
(HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, At Tirmidzi)

Perlu diketahui bahwa maksud larangan hadits di atas doa setelah sholat adalah menjajakan membeli suatu perihal yang telah khusus yang bukan miliknya dikala akad itu berlangsung.

Sebagaimana diterangkan didalam Syarhus Sunnah, “Yang dimaksud didalam hadits di atas adalah menjajakan membeli barang yang telah khusus (namun belum dimiliki dikala akad berlangsung), dan ini bukanlah miliki obyek larangan menjajakan membeli dengan mengatakan lebih dari satu ciri barang (sebagaimana terkandung didalam akad salam).

Oleh gara-gara itu, transaksi salam itu dibolehkan dengan mengatakan lebih dari satu ciri barang yang mampu dijual asalkan terpenuhi syarat-syaratnya meskipun belum dimiliki dikala akad berlangsung. Sedangkan misal menjajakan membeli barang yang tidak dimiliki yang terlarang seperti menjajakan membeli budak yang kabur, menjajakan membeli barang sebelum saat saat diserahterimakan, dan yang semakna dengannya adalah menjajakan membeli barang orang lain tanpa seizinnya gara-gara terhadap saat ini tidak diketahui bahwa yang miliki barang berikut mengizinkan ataukah tidak.”3

Sayyid Sabiq rahimahullah menjelaskan, “Jual membeli salam tidaklah masuk didalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal menjajakan membeli yang bukan miliknya. Larangan berikut terkandung didalam hadits Hakim bin Hizam, “Janganlah engkau menjajakan barang yang bukan milikmu.”

Yang dimaksud larangan yang disebutkan didalam hadits ini adalah larangan menjajakan harta yang mampu diserahterimakan dikala akad. Karena barang yang mampu diserahterimakan dikala akad dan ia tidak memilikinya saat itu, maka jika ia menjajakan bermakna hakekatnya barang berikut tidak ada. Sehingga menjajakan membeli semacam ini jadi menjajakan membeli ghoror (ada unsur ketidakjelasan).

Sedangkan menjajakan membeli barang yang disebutkan ciri-cirinya dan telah dijaminkan oleh penjual, dan juga penjual mampu menyerahkan barang yang telah dipesan cocok saat yang ditentukan, maka menjajakan membeli semacam ini tidaklah masalah.”4

Contoh riil menjajakan membeli salam adalah seperti kita melihat terhadap menjajakan membeli di internet baik dengan brosur, katalog atau toko online. Jual membeli semacam ini menganut menjajakan membeli sistem salam. Penjual hanya memajang sebagian syarat atau lebih dari satu ciri barang yang mampu dijual, namun kastemer diharuskan untuk menyerahkan uang pembayaran lebih dahulu dan barangnya mampu dikirim sehabis itu. Jual membeli semacam ini tidaklah persoalan sepanjang sebagian syarat transaksi salam dipenuhi.

Sedangkan menjajakan membeli barang yang tidak dimiliki dikala akad berlangsung, seperti dikala seseorang meminjam HP miliki si A, sesudah itu ia katakan terhadap si B (tanpa izin si A), “Saya menjajakan HP ini untukmu”.Ini tidak dibolehkan gara-gara si pemilik HP (si A) belum pasti mengizinkan HP berikut dijual kepada yang lain (si B). Ini serupa saja orang berikut menjajakan HP yang bukan miliknya gara-gara tidak ada izin berasal dari si pemilik barang. Namun jika dengan izin si pemilik beda kembali statusnya.

Semoga misal yang simpel ini mampu beri tambahan kepahaman.
Jadi menjajakan membeli salam miliki obyek yang dijual adalah lebih dari satu ciri atau pembawaan barang, namun larangan menjajakan membeli barang yang belum dimiliki yang dimaksud adalah barang berikut telah ditentukan, namun belum jadi miliki si penjual. Semoga Allah beri kepahaman.

Syarat Transaksi Salam
Setelah kita tahu bolehnya transaksi salam, transaksi dibolehkan pasti saja dengan mencukupi syarat-syarat. Syarat yang dipenuhi adalah perihal dengan upah yang diserahkan kastemer dan perihal dengan akad salam.

Syarat yang perihal dengan upah yang diserahkan kastemer adalah: 1 tahu jenisnya; 2 tahu jumlahnya, 3 diserahkan secara tunai dikala akad berjalan (tidak boleh dengan pembayaran tertunda)5.
Syarat yang perihal dengan akad salam adalah: 1 telah dijamin oleh penjual; 2 barang yang dijual diketahui ciri-cirinya dan jumlahnya supaya mampu dibedakan dengan yang lain; 3 kapan barang berikut sampai ke kastemer perlu tahu waktunya.6

Demikian sedikit penjelasan kita perihal akad salam dan sedikit kerancuan perihal menjajakan membeli barang yang tidak dimiliki. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.